gang dolly in history
KONON, Dolly adalah nama seorang perempuan berkebangsaan asing yang dulu menetap di sekitar Jalan Jarak Surabaya. Perempuan dengan sebutan Tante Dolly itulah yang kemudian dikenal sebagai legenda awal terbentuknya gang lokalisasi prostitusi Dolly.
Sejatinya, bila bertanya pada hati nurani, tak akan ada seorangpun yang setuju dengan keberadaan sebuah lokalisasi. Cobalah tanyakan pada setiap orang: maukah dia, bila Ibu/bapak atau istri/suami atau anaknya menjadi pelacur/gigolo di sana?
Suatu keniscayaan, meniadakan Dolly. Namun tentu, tak ada satu individu pun yang ingin mengembangkan Dolly menjadi sebuah proyek taman wisata berbau mesum yang besar. Maka jawaban yang pas, ganti dengan Taman Hiburan Dolly Halal (THDH). Ide ini memang terdengar aneh.
Ada beberapa langkah kongkret. Butuh kekompakan dan kesadaran moral dari semua pihak, baik masyarakat, Pemkot Surabaya, terlebih para “pegawai” Dolly. Pihak swasta tidak dilarang urun bantuan. Meski harus digarisbawahi, proyek THDH adalah proyek moral dan wisata lokal-nasional, tidak semata proyek materialistis.
Penyosialisasian dan penyuluhan sangat diperlukan guna menghindari perdebatan dan perselisihan antara pihak yang akan “direkondisi”(pekerja Dolly, mucikari dan pedagang kondom) dan pihak yang “merekondisi” (pemerintah dan masyarakat umum). Paling tidak, ada beberapa langkah beruntun selepas penyosialisasian dan penyuluhan tentang proyek THDH.
Pertama, memberi uang “pesangon” secukupnya untuk orang-orang yang “pekerjaan”-nya direkondisi. Perihal finansial biasanya menjadi pokok permasalahan berbagai interupsi sosial. Dengan uang pesangon diharapkan bisa meredam kegaduhan perbedaan pandangan. Pesangon bisa untuk modal usaha kecil, maupun dana hidup selagi tenggat waktu mencari pekerjaan baru.
Kedua, bila memungkinkan, para “pegawai” Dolly disalurkan sebagai pekerja-pekerja di berbagai perusahaan pemerintah maupun swasta yang bekerjasama dengan Pemkot Surabaya. Bila nantinya perusahaan-perusahaan itu cocok, status pekerja boleh dipermanenkan. Selanjutnya, selepas proyek THDH selesai, “pekerja” Dolly dijadikan prioritas untuk bisa bekerja di tempat itu.
Jembatan Suramadu adalah proyek megamahal. Pembangunan apartemen dan pusat bisnis pencakar langit juga tak kalah mahal. Demikian pula proyek Gelora Bung Tomo. Pemkot dengan menggandeng investor yang mumpuni seharusnya mampu membangun tempat wisata bergengsi di Surabaya.
Ide rekondisi lokalisasi prostitusi Dolly menjadi lokalisasi THDH bukanlah hal yang buruk. Cara ini sanggup menciptakan pusat wisata berisi banyak wahana hiburan yang bergengsi, senyampang menjaga masyarakat dari ketergerusan moral.
sumber
Sejatinya, bila bertanya pada hati nurani, tak akan ada seorangpun yang setuju dengan keberadaan sebuah lokalisasi. Cobalah tanyakan pada setiap orang: maukah dia, bila Ibu/bapak atau istri/suami atau anaknya menjadi pelacur/gigolo di sana?
Suatu keniscayaan, meniadakan Dolly. Namun tentu, tak ada satu individu pun yang ingin mengembangkan Dolly menjadi sebuah proyek taman wisata berbau mesum yang besar. Maka jawaban yang pas, ganti dengan Taman Hiburan Dolly Halal (THDH). Ide ini memang terdengar aneh.
Ada beberapa langkah kongkret. Butuh kekompakan dan kesadaran moral dari semua pihak, baik masyarakat, Pemkot Surabaya, terlebih para “pegawai” Dolly. Pihak swasta tidak dilarang urun bantuan. Meski harus digarisbawahi, proyek THDH adalah proyek moral dan wisata lokal-nasional, tidak semata proyek materialistis.
Penyosialisasian dan penyuluhan sangat diperlukan guna menghindari perdebatan dan perselisihan antara pihak yang akan “direkondisi”(pekerja Dolly, mucikari dan pedagang kondom) dan pihak yang “merekondisi” (pemerintah dan masyarakat umum). Paling tidak, ada beberapa langkah beruntun selepas penyosialisasian dan penyuluhan tentang proyek THDH.
Pertama, memberi uang “pesangon” secukupnya untuk orang-orang yang “pekerjaan”-nya direkondisi. Perihal finansial biasanya menjadi pokok permasalahan berbagai interupsi sosial. Dengan uang pesangon diharapkan bisa meredam kegaduhan perbedaan pandangan. Pesangon bisa untuk modal usaha kecil, maupun dana hidup selagi tenggat waktu mencari pekerjaan baru.
Kedua, bila memungkinkan, para “pegawai” Dolly disalurkan sebagai pekerja-pekerja di berbagai perusahaan pemerintah maupun swasta yang bekerjasama dengan Pemkot Surabaya. Bila nantinya perusahaan-perusahaan itu cocok, status pekerja boleh dipermanenkan. Selanjutnya, selepas proyek THDH selesai, “pekerja” Dolly dijadikan prioritas untuk bisa bekerja di tempat itu.
Jembatan Suramadu adalah proyek megamahal. Pembangunan apartemen dan pusat bisnis pencakar langit juga tak kalah mahal. Demikian pula proyek Gelora Bung Tomo. Pemkot dengan menggandeng investor yang mumpuni seharusnya mampu membangun tempat wisata bergengsi di Surabaya.
Ide rekondisi lokalisasi prostitusi Dolly menjadi lokalisasi THDH bukanlah hal yang buruk. Cara ini sanggup menciptakan pusat wisata berisi banyak wahana hiburan yang bergengsi, senyampang menjaga masyarakat dari ketergerusan moral.
sumber
0 komentar:
Post a Comment